Senin, 14 Februari 2011

PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD صلى الله عليه وسلم



بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Seperti kita lihat setiap 12 Robii’ul Awwal di negeri kita selalu diadakan perayaan Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, padahal sudah nyata dalam sejarah Islam dan dalam aqidah Islam, bahwa Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak pernah tercatat landasan dan ajarannya.
Perayaan Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم itu secara syari’at bukan saja tidak ada ajarannya, bahkan justru berbahaya. Oleh karena itu dibawah ini kami sampaikan kepada anda sekalian berdasarkan referensi-referensi yang ada secara ringkas.  Berikut ini beberapa perkara penting yang sering dijadikan dalil dan dijadikan tradisi dalam acara peringatan Maulid itu.
Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم di Indonesia dan di luar Indonesia biasa diperingati dengan acara di rumah-rumah dan ada juga yang dilaksanakan dengan cara yang legal dan resmi melalui instansi-instansi pemerintah maupun swasta.
Kalau Maulid dikaitkan dengan cinta kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,  maka tidak bisa diingkari bahwa Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم itu menjadi perkara yang berkenaan dengan Dien (agama). Dan kalau sudah berkenaan dengan Dien, maka harus ada landasan dan dalilnya. Kalau tidak ditemukan dalil dan landasannya, maka harus diakui bahwa itu menjadi bagian dari perbuatan Bid’ah.
Maulid atau Maulud atau Miladah, artinya kelahiran Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.  Padahal secara sejarah para ulama tidak bisa memastikan dengan pasti satu kata sepakat bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lahir tanggal 12 Robii’ul Awwal. Sehingga bila ada orang mengatakan harus diperingati tanggal 12 Robii’ul Awwal, dalilnya hanyalah sebatas: “Mungkin”.  Dan “Kemungkinan” tidak lah bisa dijadikan suatu dalil. Itulah yang hendaknya menjadi pemahaman awal kita.
Untuk itu, maka kita akan cari dari mana dan kapan awal munculnya peringatan Maulid Nabi tersebut.
Pernah disampaikan dalam satu Kitab bahwa Maulid Nabi itu pertama kali muncul dan yang mengadakannya adalah seorang raja yang bernama Al Mudhoffar Abi Sa’id Kubray. Cerita tersebut diriwayatkan oleh Imam As Suyuuthi di dalam kitab beliau yang bernama Husnul Maqshad Fi ‘Amalil Maulid.
Al Imam As Suyuuthi dikenal sebagai pengikut madzhab Imam Syafi’i dan beliau (Imam As Suyuuthi) menceritakan bahwa Maulidan itu dilaksanakan pada masa raja Al Mudhoffar.
Al Mudhoffar meninggal tahun 630 Hijriyah. Tetapi bisa diyakini bahwa menurut Ibnu Katsiir, orang ini (Mudhoffar) dilahirkan pada tahun 549 Hijriyah. Kalau meninggalnya tahun 630 Hijriyah berarti ia berusia 81 tahun. Berarti peringatan Maulid dilaksanakan pada abad ke-6 Hijriyah. Dia memegang tampuk kerajaan pada tahun 563 H, atau setelah dia berusia 14 tahun. Kalau ia meninggal tahun 630 H, berarti itu adalah abad ke-7 Hijriyah. Mulai abad ke -6 akhir atau abad ke-7 Hijriyah awal  itulah Maulid Nabi mulai dikumandangkan.
Namun ada khabar lain bahwa Maulid Nabi itu sudah dimulai pada akhir abad ke-4. Yaitu pada masa pemerintahan Fathiimiyah di Mesir. Sejak saat itu muncul dan mulai menjadi mode budaya Maulidan. Demikian itu telah dikemukakan oleh para ulama  antara lain Al Qalqasandi, yang merupakan perkataan jamaah dari kalangan muta akhiriin.
Yang terakhir adalah yang dikemukakan oleh Abu Syamah bahwa Maulidan itu bermula pada masa orang yang menguasai negara Mousil (sekarang Syria) yang bernama Syeikh ‘Umar bin Muhammad Al Mala’, termasuk orang shoolih, dimulai abad ke-6 atau ke-7 Hijriyah.
Dari ketiga versi tersebut diatas, yang dianggap paling benar adalah khabar yang kedua, yang mengatakan bahwa Maulid diadakan pada masa pemerintahan Fathiimiyah di Mesir, dengan beberapa pertimbangan, karena masa ‘Umar bin Muhammad  Al Mala’ dan  Al Mudhoffar perayaan Maulid sudah membudaya di Mesir dan kemudian berkembang di negara mereka. Maka kalau itu dianggap benar, sesungguhnya Maulidan itu baru mulai muncul pada akhir abad ke-4, berarti 400-an tahun setelah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم wafat.
Pada zaman Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak pernah dikenal perayaan Maulid itu, demikian pula pada zaman para Shohabat, dan pada masa Tabi’iin maupun pada masa Tabi’ut Tabi’iin tidak lah dikenal. Justru dikenalnya pada masa pemerintahan Fathiimiyah di Mesir, 400–an tahun kemudian.
Munculnya peringatan Maulid adalah karena Taqlid (mengekor) dan Tasyabbuh(menyerupai). Taqlid adalah mengekor, mengikuti secara buta terhadap orang-orang Nasrani, dimana kaum Nasrani telah mempunyai budaya yang disebut Natal, yaitu memperingati kelahiran Yesus (Nabi Isa عليه السلام). Lalu ditiru oleh kaum muslimin yang kemudian menamakannya dengan Maulid Nabi. Yang demikian itu sesuai dengan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم , haditsnya shohiih diriwayatkan oleh para ahli Hadits, bahwa:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ
Artinya:
Kalian niscaya akan mengikuti ajaran-ajaran orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai kalaupun mereka masuk ke lubang biawak,  kalian akan mengikutinya masuk ke lubang itu pula”.
Ternyata benar; kalau kaum Nasrani mengadakan perayaan Natal, kaum muslimin ikut-ikutan dengan mengadakan Maulidan. Itulah bagian daripada Taqlid.
Maulidan juga merupakan Tasyabbuh (menyerupai), yaitu menyerupai peribadatan atau syi’ar dari orang yang beraqidah agama lain. Kalau orang Nasrani mempunyai aqidah dan ibadah sendiri, lalu diserupai oleh kaum muslimin maka itu lah yang disebut Tasyabbuh. Dan Tasyabbuh adalah dilarang, diharamkan oleh Allooh سبحانه وتعالى, sesuai dengan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum  maka ia termasuk umat kaum itu”.
Tetapi kaum muslimin zaman sekarang akan marah kalau dikatakan bahwa mereka mengikuti ajaran Nasrani, atau Tasyabuh dengan Nashara. Mereka tetap mempunyai penyakit, yaitu penyakit turunan, yaitu mengikuti apa yang menjadi warisan orang-orang sebelumnya (leluhur) dan budaya turun-temurun dalam masyarakat dan bangsa itu.  Kalau bapaknya melakukan itu, maka kaum muslimin akan mengatakan: “Ini kan sudah turun-temurun, sudah umum”.
Maka sikap seperti inipun merupakan Taqlid juga, tetapi bukan kepada agama lain, melainkan Taqlid kepada nenek-moyang.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Kita hendaknya kembali kepada jalan Allooh سبحانه وتعالى,  bahwa dalam beragama tidak boleh seorang di antara kita, hanya karena melihat orang sholat lalu ikut-ikutan sholat. Ada orang melakukan A, lalu kita ikut melakukan A. Ada orang banyak melakukan sesuatu, lalu kita ikut-ikutan, tanpa melihat dasar landasan atau dalilnya, hanya karena musiman atau trendy. Ada orang ibadah memakai baju putih, lalu ikut-ikutan memakai baju putih. Orang beribadah memakai peci putih, lalu ikut-ikut memakai peci putih. Ada orang memakai udeng-udeng (sorban) lalu ikut-ikutan memakai udeng-udeng. Itu namanya Taqlid, dan itu tidak boleh.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya:
“Janganlah kamu melakukan suatu perkara yang kamu tidak tahu ilmunya tentang itu, sebab sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati kamu akan dimintai tanggungjawabnya oleh Allooh”. (QS Al Isroo :36)
Jadi hukum asal dalam beragama menurut ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bahwa ibadah itu haram, kecuali ada dalil yang mengajarkan tentang itu. Kalau ada ajaran dan dalilnya, maka kita harus mengamalkannya.
Ada beberapa fakta, yang kiranya tidak bisa dikemukakan disini, tetapi setidaknya menjadi pertimbangan bagi Anda sekalian bahwa peringatan Maulid termasuk kultus terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, yang memang dilarang oleh beliau صلى الله عليه وسلم.  Seperti disabdakan beliau صلى الله عليه وسلم dalam sebuah Hadits shohiih:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ
Artinya:
“Jangan kalian berlebihan kepadaku seperti orang Nasrani melakukannya terhadap Isa ibnu Maryam”.
Jadi kalau itu kultus dan mengagungkan kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka itu dilarang oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Ada yang menganjurkan melakukan peringatan Maulid, seperti yang dikatakan oleh Al Barzanji. Barzanji adalah nama tempat (daerah). Nama lengkapnya adalah Ja’far  bin Hasan Abdul Karim Al Barzanji Zainal ‘Abidin. Termasuk warga Madinah, dan termasuk mufti dalam Madzhab Syafi’i. Ia meninggal tahun 1177 Hijriyah (abad ke-12 Hijriyah).Demikian dikemukakan oleh Az Zarkali dalam kitabnya: “Al A’lam”.
Dikatakannya begini: “Telah dianjurkan untuk melaksanakan Maulid, mengingat kelahiran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Siapa yang menganjurkan itu adalah para imam yang mempunyai riwayat. Maka berbahagialah bagi orang yang mengagungkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم”.
Berarti orang tersebut termasuk yang  mendukung  acara Maulidan tersebut. Tetapi ingat, orang ini  hidup di abad 12 Hijriyah. Jadi merupakan turunan saja dari ajaran yang pernah ada pada abad ke-4, pada pemerintahan Fathiimiyah di Mesir.
Ada lagi orang lain yaitu Imam al Manawi, ia juga orang yang men-syarah Al Jami’ Shaghirmelalui kitab yang namanya “Faidzul Qadir”,  ia juga mengatakan: “Wajib bagi orang yang hadir dan mendengar untuk berdiri ketika disebut tentang kelahiran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلمsebagai bukti mengagungkan atas datangnya dzat Nabi صلى الله عليه وسلم”.
Katanya, kalau Rosuul disebut dalam suatu perkataan dimana perkataannya sebagai berikut: “Asraqad anwaru Muhammadin wahtafad min hal buduru”. Atau ada kata-kata: “Shalatu Rabbi dzil Jalali ‘ala nuril huda bahil jamali”. Atau yang sering kita dengar adalah: “Marhaban ya Marhaban ya Marhaban, Marhaban jaddal husaini, Marhaba.Ya Nabi ya salamun ‘alaika, ya Rasul salamun ‘alaika”.
Ketika kata-kata itu dibacakan, maka yang hadir berdiri. Katanya, untuk menghormati ruh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang datang.
Kemudian ada yang mempunyai doa, apabila mereka selesai dari acara peringatan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم itu dengan mengucapkan:
Allahumma inna qad hadhorna qiraata matayassara min maulida nabiyyikal karim faqdhi – Allahumma ‘alaina khal alqabuli watakrimi waaskinna bijiwarihi fi jannatinna’im” (dinukil dari kitab Al Anwar Al Qudsiyah dan Maulid yang ditulis oleh Al Manawi).
Terjemahannya: “Ya Allooh sesungguhnya kami telah menghadiri pembacaan dari kisah lahirnya Nabi-Mu, yang mulia, maka tunaikanlah kebutuhan kami. Ya Allooh karuniakan kepada kami diterimanya ibadah kami, dan kemuliaan itu. Dan berikanlah kesempatan untuk tinggal menjadi tetangga Rosuul di surga”.
Kalau kita selesai membaca Al Qur’an memang ada Hadits, dimana Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عند كل ختمة دعوة مستجابة
Artinya:
“Setiap orang selesai dan khatam membaca Al Qur’an,  maka ia mempunyai kesempatan berdo’a dan do’a itu akan dikabulkan oleh Allooh سبحانه وتعالى”.
Lalu oleh mereka, pembacaan Barzanji  disamakan dengan membaca Al Qur’an. Kata mereka: “Ya Allah kami sudah selesai membaca cerita Nabi-Mu, maka kabulkanlah permintaan kami”. Karena mereka selesai membaca kisah Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم lalu berdoa kepada Allooh سبحانه وتعالى.Yang demikian itu dijadikan tawassul. Dan masih ada doa-doa yang lain, yang sering mereka ucapkan setelah membaca kitab Barzanji, atau Kitab Diba’i, yang semua itu dimuat dalam kitabMajmu’ Syarif.
Al Marghini mengatakan bahwa: “Akan dikabulkan suatu doa ketika mengingat kelahiran Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan ketika selesai dari memperingati kelahiran beliau”.
Yang mengatakan demikian itu bukan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bukan pula shohabat, tetapi seseorang yang bernama Al Marghini dan itu dinukil dari Kitab “Al Asrar Ar Rabbaniyah”.
Semua itu berasal dari orang-orang muta akhiriin (yaitu orang-orang yang hidupnya jauh dari masa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, para shohabat, tabi’iin dan tabi’ut tabi’iin), karena hidupnya adalah baru pada abad ke-12 Hijriyah.
Sementara pada abad-abad sebelumnya atau di masa-masa Islam sebelumnya (yang masih murni),tidak akan ditemukan orang yang meng-keramatkan dan mengutamakan peringatan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم.
Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم, kalau kita lihat di awal sejarahnya diperingati dengan besar-besaran. Bahkan sampai sekarang. Pada awal sejarahnya pada zaman pemerintahan Fathiimiyah, raja Al Mudhoffar dalam suatu Maulid  telah berinfak sebanyak 5000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 keju, 30.000 piring halwa (roti padat). Yang hadir adalah diantaranya para tokoh Sufi, yang memperdengarkan lagu-lagu pujian Sufi, dari sejak shalat Dhuhur sampai dengan Shalat Shubuh. Dan melagukan lagu Yarqus (Rock), berisi joged-joged. Disebutkan bahwa dana untuk itu semua mencapai 300.000 Dinar (Emas). Itu infak untuk Maulidan.
Data itu perlu disampaikan kepada kita, bahwa memang benar Maulidan itu sudah ada sejak abad ke-4 Hijriyah. Tetapi yang menjadi dasar bagi kita adalah bahwa sesuatu diyakini sebagai agama, Dien, ajaran, jika didasarkan pada abad Nol Hijriyah.
Kalender Hijriyah dihitung dimulai sejak bulan Muharram hijrahnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم ke Madinah. Dengan demikian dapat dipastikan setelah 13 tahun setelah ke-Rasulan. Atau 13 tahun kebelakang belum dihitung dalam penanggalan. Sejak dari Nol Hijriyah itu atau sejak 13 tahun Rasulullah صلى الله عليه وسلم berda’wah, apalagi selama beliau di Mekkah, tidak pernah ditemukan dalam sejarah dan sirroh mana pun Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memperingati hari kelahiran beliau.
Setelah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم wafatpun juga tidak ada riwayatnya. Sampai kepada shohabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, sampai zamannya Imam Syafi’i  juga tidak pernah ada peringatan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم. Kalau begitu, itu pasti ajaran baru.  Kalau ajaran baru berarti Muhdats.  Padahal Muhdats itu oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dilarang. Sabda beliau dalam Hadits Shohiih:
و إياكم و محدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة
Demikian disabdakan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam suatu khutbah yang bernama Khutbatul Hajah dan itu menjadi bukti. Bahwasanya yang disebut dengan Maulidan itu mempunyai akibat terhadap perkara aqidah yang tidak kecil, karena dengan Maulidan telah memunculkan kultus terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Padahal seperti disebutkan diatas bahwa kultus terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dilarang. Karena Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم telah bersabda seperti disebutkan diatas:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ
Artinya:
Jangan kalian memperlakukan aku seperti orang Nashara memperlakukan Isa ibnu Maryam”.
Lalu dalam Hadits yang lain, diriwayatkan oleh banyak orang ulama Hadits antara lain Ibnu Hibban, Imam Ahmad, dll, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
يا أيها الناس إياكم والغلو في الدين فإنه أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين
Artinya:
“Wahai manusia, hindarilah oleh kalian dari kultus atau berlebihan dalam masalah Dien (Islam),sesungguhnya berlebih-lebihan telah membuat binasanya orang-orang sebelum kalian”.
Ada beberapa perkara yang menjadi fakta, bahwa Maulidan mengakibatkan kultus.
Di antaranya adalah mereka berdalil dengan hadits, kata mereka haditsnya dari Jabir bin ‘Abdillah, yang mengatakan kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Ya Rosuulullooh, demi bapak dan ibuku, beritahukanlah kepadaku, tentang yang pertama kali Allooh ciptakan sebelum segala sesuatu”. Maka jawab Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Wahai Jabir, sesungguhnya Allooh telah menciptakan sebelum menciptakannya segala sesuatu, adalah telah menciptakan nur (cahaya) Nabimu dari cahaya-Nya (cahaya Allooh سبحانه وتعالى). Pada waktu itu tidak ada Lauhul Mahfudz, tidak ada Qolam (pena), tidak ada Jannah (surga) dan tidak ada Naar (neraka), tidak ada malaikat dan tidak ada langit, bumi, matahari dan bulan”.
Hadits tersebut diriwayatkan dalam kitab “Al Mawahid Al Laduniyah”, di tulis oleh Al Asqolaani.
Menurut Imam Al Manawi,  bahwa Nama Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mempunyai 4 huruf, yaitu huruf Hijaiyah: Mim, Ha, Mim dan Dal. Setiap huruf mempunyai kedudukan. Mim (pertama) adalah merupakan dasar diciptakannya segala sesuatu.  Segala sesuatu berasal dari cahaya-Nya (Allooh سبحانه وتعالى), yang telah mengadakannya. Kalau saja tidak karena Muhammad صلى الله عليه وسلم maka tidak akan terbit, dan tidak akan ada makhluk tersebut.
Lalu dikatakan oleh Al Marghini: “Aku bersaksi bahwa Tuan (Sayyidina) Muhammad diciptakan dari Mim, namanya terbentang ke seluruh alam yang ciptakan oleh Allah Ta’ala”.
Yang demikian itu, harus kita ketahui bahwa Haditsnya adalah Hadits palsu, kedustaan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Berarti bukan Hadits melainkan hadits yang diada-adakan. Oleh karena itu dalam satu Kitab “Majmu’Ar Rosail Wal Masail”, dikatakan bahwa: “Ini bukanlah hadits yang berasal dari Nabiصلى الله عليه وسلم. Hadits dho’if. Tidak seorangpun dari kalangan ahlul ‘ilimi tentang hadits, yang meriwayatkan hadits tersebut dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Bahkan tidak pernah dikenal pula ada seorang shohabat yang meriwayatkan ini. Perkataan itu tidak diketahui, siapa yang mengatakan awal pertama kalinya
Berarti hadits yang tersebut diatas tidak jelas asal-usulnya. Haditsnya palsu.
Bahkan Imam As Suyuuthi dalam kitabnya “Al Haawi” mengatakan, seperti disebutkan dalam Al Qur’an bahwa manusia itu berasal dari anak-cucu Adam dan diciptakan dari tanah.
Juga bertentangan pula dengan firman Allooh سبحانه وتعالى dalam surat Fushshilat ayat 6:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
Artinya:
“Katakan lah (Wahai Muhammad): Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian.” (QS Al Kahfi : 110)
Sedangkan dalam hadits palsu diatas, dikatakan bahwa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak seperti manusia biasa, karena diciptakan dari cahaya sebelum segala sesuatu ini diciptakan dan seterusnya, dan seterusnya.
Padahal yang benar, seperti yang disebutkan dalam Hadits Shohiih, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda bahwa  makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allooh سبحانه وتعالى adalah pena. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda dalam satu hadits riwayat Imam Bukhoory dan Imam Muslim, dan itu menjadi kesepakatan Ahlussunnah wal Jama’ah, bahwa: “Pertama kali makhluk yang Allooh ciptakan adalah pena (Qalam). Lalu Allooh mengatakan kepada pena itu:‘Tulislah’. Maka kata pena: ‘Apa yang harus aku tulis?’ Firman Allooh: ‘Tulislah olehmu tentang apa yang akan terjadi sampai dengan hari Kiamat’.
Jadi pena adalah makhluk yang pertama kali diciptakan. Maka apa yang disebutkan dalam hadits palsu diatas adalah bertentangan dengan Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tersebut.
Ada beberapa bait Syi’ir yang ditulis oleh Al Buushiri dalam kitabnya yang namanya Burdah. Dan itu ada juga dalam Majmu’ Syarif. Syi’ir-nya antara lain berbunyi:
Wahai manusia yang paling mulia,
Kepada siapa lagi aku akan mengadu selain kepadamu,
Ketika turun kepada kami beberapa musibah yang melanda.
Tidak akan pernah sempit dengan Rosuulullooh Saw
bagi kedudukanmu melalui aku,
Ketika kemuliaan telah jelas dengan nama.
Karena dengan adanya engkau (Muhammad Saw),
lalu adanya dunia dan seisinya.
Dan di antara ilmumu (ilmu Nabi Muhammad Saw)
adalah ilmu tentang Lauh dan ilmu tentang Pena.
Itulah bentuk kultusnya. Dikatakan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lah yang menyebabkan lahirnya dunia ini dan seisinya, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengetahui apa yang ada dalam Lauhul Mahfudz, dan apa yang dalam Al Qolam. Semua itu termasuk kultus, karena sesungguhnya yang demikian adalah bagian dari syirik.
Kalau dikatakan bahwa segala kejadian akan bisa terangkat dan terselamatkan oleh adanya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka itu adalah syirik.
Karena bertentangan dengan firman Allooh سبحانه وتعالى:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ
Artinya:
“Kalau Allooh sudah menghendaki terjadinya suatu mudhorot maka tidak ada yang bisa mengangkat madhorot dan bahaya itu kecuali Allooh
Sementara dari keyakinan dalam syi’ir itu, yang mengangkat dan yang mengentaskan musibah/ mudhorot adalah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Oleh karena itu, kalau dikatakan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم  mengetahui  Lauhul Mahfudz dan Al Qolam, itu pun salah. Karena bertentangan dengan firman Allooh سبحانه وتعالى:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
Artinya:
Katakan (Wahai Muhammad): Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku memiliki apa (pengetahuan) yang ada dalam rahasia Allooh dan aku tidak mengetahui hal yang ghoib”. (QS. Al An ‘aam : 50)
Juga firman Allooh سبحانه وتعالى:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ
Artinya:
“Katakanlah (Wahai Muhammad): Aku tidak memiliki terhadap diriku manfaat dan bahaya kecuali berasal dari kehendak Allooh”.
Dan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ
Artinya:
“Kalau saja aku tahu perkara-perkara yang ghoib, nisacaya aku akan memperbanyak amalan yang shoolih”. (QS Al A’roof : 188)
Itulah yang diungkapkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, atas perintah Allooh سبحانه وتعالى, untuk mengucapkannya. Maka apa yang disyi’irkan dan dinyatakan oleh syi’ir tertsebut diatas, selain suatu peng-kultus-an juga tergolong syirik.
Dalam bait-bait Syi’ir yang lainnya disebutkan:
Seluruh yang ada di alam semesta ini
karena Muhammad صلى الله عليه وسلم diciptakan.
Dunianya, akhiratnya, semuanya adalah
karena diciptakannya Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah makhluk pertama kali
yang menjadi rahasia alam semesta.
Begitu juga seluruh manusia dari awalnya.
Kalau saja bukan karena Muhammad صلى الله عليه وسلم,
Allooh سبحانه وتعالى tidak akan mengadakan apa yang ada di alam semesta ini,
Dan tidak akan terjadi apa yang ada di alam semesta ini,
kalau bukan karena kemuliaannya.
Dan masih banyak lagi syi’ir-syi’ir yang syubhat-syubhat, yang masih saja diyakini oleh sebagian besar kaum muslimin tentang masalah Maulidan, yang sebenarnya secara ilmiah tidak lah bisa dibuktikan.
Maka hendaknya kita semakin yakin bahwa Maulidan bukanlah bagian dari Sunnah dan ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Bukan bagian dari ajaran Islam.
Maulidan adalah ajaran yang diada-adakan (merupakan perkara baru) dalam ajaran Islam, yang tidak dikenal sebelumnya, atau dengan kata lain disebut Bid’ah.
Maka sangat disayangkan seandainya hal itu terus berlangsung di masyarakat dan kita diam saja terhadap orang-orang disekitar kita yang melakukannya.
Kesimpulannya, bahwa Maulidan itu mempunyai beberapa efek negatif, antara lain:
1. Dari sisi aqidah: akan terjadi Syirik, Kultus, dan Tawassul yang tidak benar caranya. Semua itu adalah perkara yang berat.
    Dengan mengatakan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bisa mengangkat dan mengentaskan bahaya, maka yang demikian itu adalah syirik.
    Dan syirik itu akan melenyapkan seluruh nilai amalan kita.
    Firman Allooh سبحانه وتعالى:
    لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
    Artinya:
    “Kalau kamu berbuat syirik, niscaya amalanmu akan gugur semuanya dan kamu di hari Akhir termasuk orang-orang yang merugi”. (QS Az Zumar : 65)
    Itu sudah cukup membuat kita kandas, merugi dan termasuk orang yang bangkrut.Na’udzubillaahi min dzaalik.
    2. Dari sisi ibadah:  Ibadah yang demikian itu menjadi Bid’ah, karena tidak ada dasarnya. Orang berkorban dengan harta, waktu, tenaga dan apa yang ia miliki, menganggap bahwa Maulidan itu syi’ar  Islam, menganggap itu bagian dari ritual kaum muslimin, padahal tidak ada landasannya sama sekali. Berarti perkara itu adalah perkara Bid’ah, dan Bid’ah adalah hal yang sia-sia, bahkan menjadi dosa. Bahwa orang yang menghidupkan satu bid’ah, berarti telah mematikan satu Sunnah.
    3. Secara budaya:  Maulidan merupakan pembiasaan yang buruk. Dari dahulu sampai sekarang bahkan sampai waktu yang akan datang terus saja dibiasakan, padahal sudah jelas-jelas tidak bisa dibuktikan landasan dalilnya.
        Yang disebut dalil adalah Firman Allooh سبحانه وتعالى dan Sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
        Kalau hanya kata kyai, kata organisasi, kata sekumpulan orang, hasil kesepakatan manusia, kebiasaan dan sebagainya, semuanya itu bukan lah dalil.  Kalaupun disebut dengan Syi’ar, maka itu adalah syi’ar Islam yang palsu, karena tidak ada dasarnya. Sesuatu baru bisa dikatakan sebagai Syi’ar itu kalau ada dasarnya.
        Yang dimaksud Syi’ar Islam misalnya: Shalat berjamaah, wanita berjilbab,  menunaikan ibadah haji, dan seterusnya yang memang jelas ada ajarannya dan dasar (dalilnya). Kalau suatu syi’ar tidak ada ajarannya, berarti itu syi’ar palsu.
        4. Dari sisi sosial:  Yaitu yang menyangkut masyarakat umum. Maulidan telah membiasakan orang  untuk memperingati dengan acara-acara yang maksiat. Laki-laki dan perempuan yang bukan mahromnya bercampur aduk dalam satu tempat, bahkan ada musik-musiknya, nyanyian-nyanyiannya, lalu ada joged-jogednya, dan itu adalah haram. Bahkan mungkin disitu tidak terkontrol ada unsur judinya, ada minum khamernya, maka semakin bertambah haram. Dari sini saja sudah banyak mengandung unsur madhorot.
        5. Dari sisi ekonomi: Termasuk tabdziir dan isroof (mubadzir). Kalau saja setiap RT mengadakan Maulidan, per-RT menghabiskan rata-rata satu juta rupiah, maka untuk seluruh Indonesia yang sebanyak 10.000 RT, maka dana yang dihabiskan sebesar 10 milyar rupiah. Bayangkan, uang sebanyak itu dihabiskan untuk perkara yang bukan bermakna ibadah, tetapi justru bermakna tabdzir, tidak mempunyai nilai di sisi Allooh سبحانه وتعالى, bahkan berpeluang menimbulkan maksiat.
            Itulah hal-hal yang harus disadari oleh kita semua, dipahami sedalam-dalamnya, bukan semata-mata diatas dasar emosi dan bertahan diatas sesuatu yang tidak ada landasan ilmunya.
            Kalau ingin berbicara tentang ilmu, marilah semuanya kita kembalikan ke firman Allooh سبحانه وتعالى dan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
            Cukuplah bagi kita, kalau kita berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah, maka kita akan menjadi orang yang selamat.
            Ber-Islam landasannya bukan karena sedang nge-trend, atau sedang favorit atau sedang digandrungi, atau karena sudah membudaya dan sudah turun-temurun. Semua  landasan tersebut tidak benar, karena Islam yang ada pada hari ini  harus sesuai dengan Islam yang ada pada masa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Kalau tidak ada dalam al Qur’an, tidak ada dalam Sunnah atau ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, hendaknya berhenti dan dihentikan. Sebab semua amalan itu akan tertolak.
            Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
            وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
            Artinya:
            “Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang bukan dari kami, maka amalan itu akan tertolak.”
            Demikianlah hal-hal yang bisa dikemukakan saat ini, mudah-mudahan bisa menjadi pengajaran bagi kaum muslimin bahwa sebenarnya Acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad  صلى الله عليه وسلم itu tidak ada landasannya, tidak ada tuntunannya dari Sunnah Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
            Karena itu,  seharusnya kepada khalayak kaum muslimin dan saudara-saudara kita yang lainnya, kita sebarkan pemahaman yang benar agar setiap kita menjadi orang-orang yang selamat, kalau kelak kita meninggal.
            Tanya-Jawab:
            Pertanyaan:
            Ada informasi lain tentang Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم katanya pertama-tama dilakukan oleh Salahudin Al Ayyubi. Karena ketika itu umat Islam semangatnya mulai lemah, tidak semangat.
            Mohon penjelasan lebih lanjut tentang asal rujukan dan dari kitab apa informasi tersebut.
            Jawaban:
            Apa yang kami sampaikan diatas rujukannya jelas. Dari kitab-kitab yang saya sebutkan diatas. Tetapi cerita Shalahuddin Al Ayyubi adalah riwayat dari mulut ke mulut dan tidak jelas asal-usul riwayatnya. Maka kita tidak perlu terpaku dengan kisah Shalahuddin Al Ayyubi, kalau memang itu tidak ada landasannya yang jelas. Kami sendiri tidak menemukan sumber informasinya, karena riwayat itu hanya dari mulut ke mulut.Tidak jelas ke-shohiihannya. Sementara yang bisa dirujuk dari berbagai kitab adalah seperti yang disampaikan diatas.
            Kalaupun itu dikatakan untuk menumbuhkan semangat kaum muslimin untuk beramal, mengamalkan ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka pada kenyataannya    urusan tersebut tidak lah berbekas. Tidak ada hasilnya apa-apa. Maulidan dilaksanakan dari tahun ke tahun, toh tidak berbekas sama sekali. Apakah dengan Maulid lantas kaum muslimin menjadi militant untuk mengikuti ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم? Apakah menjadi semakin tergerak untuk meniru ibadahnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم? Semakin kental nyunnahnya, semakin berpegang teguh Islamnya? Sama sekali tidak.
            Yang jelas, yang sekarang muncul malah justru pornografi, pornoaksi, dekadensi moral, seperti munculnya majalah Playboy dan sejenisnya, yang semua itu adalah pelecehan dari ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
            Haram hukumnya seorang wanita memperlihatkan perhiasannya. Terutama perhiasan  asli tubuhnya yang Allooh سبحانه وتعالى ciptakan. Juga perhiasan buatan yang berasal dari pakaiannya, make-up, dan perhiasan lainnya. Semua itu haram untuk diperlihatkan kepada orang yang bukan mahromnya.
            Bagaimana halnya dengan seorang perempuan yang memperlihatkan tubuhnya?
            Ia difoto dalam pose tanpa busana atau busana yang minim, lalu dicetak sekian ribu eksemplaar. Mungkin perempuan itu dibeli dengan difoto, sekali foto upahnya 5 juta rupiah. Lalu fotonya dicetak menjadi 10 ribu eksemplar. Maka harga satu foto Rp500,–/lembar. Artinya perempuan yang difoto itu harga dirinya hanya Rp500,–(Limaratus rupiah). Dengan demikian ia sama sekali tidak punya harga diri. Hanya dihargai limaratus rupiah. Ironisnya, perempuan yang difoto itu bangga. Ia bangga karena merasa populer, padahal ia hanya bernilai  limaratus rupiah. Hina sekali sebetulnya.
            Belum lagi kerusakan moral yang muncul.Manusia yang waras dan sehat syahwatnya, bila diiming-imingi (sengaja atau tidak) untuk melihat aurat wanita, pasti akan tergiur.  Wanita pun tertarik pada laki-laki. Apalagi laki-laki. Tentu lebih tertarik kepada wanita. Dengan demikian, foto-foto seperti itu yang disebar-luaskan, akan menyebabkan orang lain terbangkit syahwatnya untuk berbuat zina. Maka moral manusia menjadi turun drastis. Banyak terjadi sekarang anak berzina dengan orang tuanya sendiri. Ada anak dibawah umur berzina dengan sesama anak dibawah umur.  Di siaran berita TV-TV setiap hari ditayangkan berita semacam itu. Itu antara lain karena adanya VCD porno, gambar porno dan majalah porno.
            Maka hendaknya kita kaum muslimin berhati-hati, jangan sampai tergiur dan tertipu oleh tipu-daya syeitan.
            Pertanyan tertulis:
            Dalam Kitab “Al ‘Ubuudiyah” ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bolehnya bertawasul  kepada kubur Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Apakah hal itu benar?
            Jawaban:
            Saya yakin tidak ada yang mengajarkan bahwa orang boleh dan bisa bertawassul dengan kubur. Karena kubur itu adalah terdiri dari tanah, batu, nisan, dsbnya. Kalau bertawassul dengan yang ada di dalamnya, berarti orang yang dikubur, maka itu tidak lah benar.
            Kalaupun misalnya ada dalam kitab yang disebut diatas, kitab apa pun kalau itu mengajarkan sesuatu yang tidak benar, maka tidak perlu dijadikan pelajaran. Kitab apa pun yang ditulis oleh orang semasyhur apa pun, kalau tidak sesuai dengan firman Allooh سبحانه وتعالى dan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka tidak perlu didengar.
            Tawassul yang dibolehkan adalah tawassul dengan amal shoolih. Bila seseorang pernah beramal shoolih,  maka boleh bertawassul dengan amal shoolihnya itu. Itu boleh.
            Atau orang bertawassul melalui do’a orang shoolih yang masih hidup, itu juga boleh. Misalnya ada orang shoolih, ia berpegang-teguh dengan Sunnah, ia ahli ibadah, ia adalah orang taqwa, ia adalah orang wara’, dan orang tersebut masih hidup, lalu kita datangi dia, minta tolong  padanya untuk mendo’akan kita, lalu orang shoolih tersebut membacakan do’a untuk kita, maka yang demikian itu adalah diperbolehkan. Itu namanya tawassul melalui do’a orang shoolih. Tetapi kalau orang shoolih itu sudah mati, maka tidak boleh lagi bertawassul dengannya.
            Bertawasul dengan Asma dan shifat Allooh سبحانه وتعالى, itu juga boleh. Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
            وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
            Artinya:
            “Sesungguhnya Allooh mempunyai nama-nama yang baik, maka berdoalah kamu dengan nama-nama itu”.
            Berarti bertawasul dengan Asma-Asma Allooh سبحانه وتعالى boleh. Dan itu memang diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
            Tetapi bertawassul kepada kuburan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka yang seperti ini adalah tidak boleh.
            Bertawassul dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, setelah beliau meninggal, juga tidak boleh. Karena beliau sudah meninggal dunia.
            Adapun tidaklah sama, kalau seseorang bershalawat kepada beliau lalu beliau membalasnya, itu adalah Al Hayat Al Barzakhiyyah, dan itu adalah kekuasaan Allooh سبحانه وتعالى, tidak bisa disamakan dengan kehidupan kita di dunia.
            Pertanyaan:
            Apakah aqidah dari Imam Al Manawi, yang merupakan pen-syarah Kitab “Jaami’ish shoghir”,  karena beliau termasuk yang menganjurkan perayaan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم?
            Jawaban:
            Imam Al Manawi adalah seorang Imam bahkan dikenal kitabnya dalam menjelaskan Kitab Imam As Suyuuthi. Namanya Kitab “Al Faidhul Qadir, syarah Al Jami ‘ush shghiir’”
            Tetapi, sekali lagi, imam siapa pun kalau ia mengajarkan sesuatu yang tidak diajarkan dan disampaikan oleh shohabat, maka berarti aqidahnya mempunyai peluang sesat dan salah. Karena itu kita tidak mengikuti imam/ orang shoolih atau siapa pun bila yang disampaikannya tidak sesuai dengan tuntunan Rosuul. Karena yang harus kita ikuti adalah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
            Pertanyaan:
            Dalam sholat berjama’ah bila shaf pertama penuh, bagaimana cara membentuk shaf kedua? Dari kanan atau dari tengah?
            Jawaban:
            Mulailah dari sebelah belakang kanan imam, terus berbaris ke kanan. Barulah berbaris ke kiri.
            Pertanyaan:
            Bolehkah sholat di masjid yang disampingnya terdapat makam (kuburan)?
            Bagaimana dengan Masjid Nabawi yang didalamnya terdapat makam Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم?
            Jawaban:
            Dilihat dari sejarah asalnya adalah karena makam Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lebih dahulu ada disitu, yang dahulunya bukan masjid. Makamnya semula diluar masjid Nabawi. Makam dan rumah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم  asalnya terpisah dengan masjid Nabawi oleh dinding. Kalau sekarang makamnya terdapat dalam Masjid, itu bukanlah menjadikan dalil bagi bolehnya kuburan lalu disampingnya dibangun masjid.
            Pertanyaan:
            Dijelaskan diatas bahwa mengadakan perayaan Maulid itu Bid’ah. Bagaimana kalau dalam perayaan Maulid itu tidak ada acara-acara yang bertentangan, kecuali hanya ceramah tabligh, apakah itu termasuk Bid’ah?  Kalau dikatakan Bid’ah mengapa tidak ada ulama yang sepakat bahwa Maulid itu Bid’ah? Berarti orang-orang yang mengadakan Bid’ah itu masuk neraka, karena setiap yang baru itu sesat dan masuk neraka. Mohon penjelasan.
            Jawaban:
            Sekarang hendaknya diketahui dulu ilmunya dengan benar, bahwa Maulid itu secara syar’i tidak punya landasan yang benar. Anda hendaknya camkan terlebih dahulu pemahaman seperti itu.
            Lalu, kalau didalam perayaan Maulid itu tidak ada  acara lain kecuali ceramah. Kalau tidak acara lain, berarti tidak akan terjadi Maulidan. Maka mustahil kalau tidak ada acara apa-apa. Pasti terjadi acara apa-apa. Acaranya itu justru yang tidak ada landasannya (dalilnya).
            Maka kalau ingin sesuai dengan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, tidak usah diadakan Maulid itu. Kalau saja ada acara ceramah, dan ceramahnya membantah terhadap diadakannya Maulidan itu, tentu sebelum selesai ceramah sudah disuruh berhenti oleh panitia. Maka pasti isi ceramahnya mempertimbangkan khalayak yang mengundang dan meng-odernya. Tidak mungkin untuk berbicara sebebas-bebasnya.
            Maka kalau memang ingin “Nyunnah”, tidak lah usah ikut dalam acara itu. Karena Maulid itu mengada-ada sesuatu yang tidak ada dalilnya, alias Bid’ah.
            Mulailah dari diri kita sendiri. Tegakkan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mulai dari dalm diri kita terlebih dahulu. Marilah kita bersemangat untuk selalu cinta kepada Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.  Apa yang ada dalam Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم kita hidupkan, apa yang tidak ada  kita tidak perlu ikut-ikutan. Insya Allooh kita akan mendapat banyak pahala dan kebajikan. Mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى akan memberikan ilmu kepada yang masih melaksanakan Bid’ah. Allooh سبحانه وتعالى bukakan hati mereka, ditunjukkan mereka kepada jalan yang lurus, lalu jera tidak lagi melakukan kebid’ahan itu. Tetapi kalau sudah diberitahu tentang yang benar, lalu mereka masih saja melakukan bid’ah, jangan-jangan hati mereka memang sudah tertutup sekat (Khotamalloohu ‘ala qulubihim). Berarti kita tidak bersama mereka.
            Pertanyaan:
            Menurut pengamatan Anda, Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم selain dilakukan di Indonesia, dilakukan di negara mana saja?
            Jawaban:
            Yang namanya Bid’ah, itu tersebar di mana-mana. Jangankan di Indonesia, di negara Haramain (Saudi Arabia) sendiri, ada Maulidan. Tetapi kadar dan prosentasenya sangat kecil. Yang banyak disana adalah melaksanakan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Sehingga, kalau ada Maulid disana tidak begitu nampak, sepertinya dilakukannya dengan sembunyi-sembunyi.Yang demikian itu tidak mustahil, karena di zaman para shohabat saja terjadi maksiat. Jadi tidak aneh, dimana saja bid’ah bisa muncul, juga di Asia.
            Pertanyaan:
            Tentang pernikahan massal. Sekarang menjadi model dari organisasi-organisasi sosial untuk mengadakan pernikahan massal, terutama terhadap orang-orang yang sudah hidup bersama tanpa menikah (kumpul kebo). Bagaimanakah pernikahan massal yang dimaksudkan itu dipandang dari segi aqidah ?
            Jawaban:
            Secara hukum, orang yang berzina adalah ibarat mayat gentayangan. Kalau orang yang berzina itu belum pernah nikah, maka memungkinkan orang tersebut dirajam tidak sampai mati. Lalu diasingkan dari negerinya (dita’zir). Tetapi bagi orang yang sudah menikah/ pernah menikah/ dalam keadaan menikah; kalau ia berzina, maka hukuman syari’at-nya adalah dirajam sampai mati.
            Bila demikian adanya, maka orang yang berzina dalam keadaan sudah pernah menikah, maka mereka itu adalah laksana mayat-mayat yang bergentayangan. Karena status mereka sudah mati sebenarnya.
            Tetapi di Indonesia, yang berjalan bukan lah hukum Allooh سبحانه وتعالى, melainkan hukum Hak Azasi Manusia. Jadi hukum yang berlaku semaunya, karena semua adalah Hak Azasi. Maksiat pun hak azasi. Disangkanya hak azasi itu akan menyelamatkan manusia. Padahal hak azasi seharusnya tunduk pada hak Allooh سبحانه وتعالى, yang menjadi kewajiban bagi manusia.
            Dalam hadits shoohih, diriwayatkan Mu’az bin Jabal رضي الله عنه bertanya kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Wahai Rosuulullooh, apakah yang menjadi hak Allooh atas manusia dan apa hak manusia kepada Allooh?”
            Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab bahwa ada timbal-balik antara hak hamba dengan hak Pencipta (Allooh سبحانه وتعالى). Apa yang menjadi hak Allooh سبحانه وتعالى adalah menjadi kewajiban manusia. Apa yang menjadi kewajiban manusia bukanlah kewajiban bagi Allooh سبحانه وتعالى. Karena makhluk tidak bisa mewajibkan kepada Allooh سبحانه وتعالى. Semua adalah karunia dari Allooh سبحانه وتعالى. Jika orang beramal-shoolih, maka Allooh سبحانه وتعالى akan memberikan keutamaan kepada orang tersebut.
            Dengan demikian, maka manusia hidup ini tidak ada yang merdeka, semaunya sendiri, mau maksiat mau beramal, terserah, seperti hewan. Tidak demikian.
            Adapun hewan itu semaunya sendiri karena hewan memang tidak mukallaf, karena tidak diberi akal. Manusia berbeda. Manusia itu diberi fitroh (Islam), diberi kemampuan yang berbeda dengan hewan, diberi syari’at, diutus Rosuul pada mereka, diberi malaikat. Semuanya untuk manusia. Oleh karena itu, maka manusia tidak bebas seperti yang diinginkan dirinya (yakni ingin sebebas-bebasnya). Tetapi, hendaknya manusia mengikuti ajaran yang Allooh سبحانه وتعالى kehendaki. Manusia bergaul dengan sesama manusia juga harus sesuai dengan aturan Allooh سبحانه وتعالى.
            Oleh karena itu, manusia yang berzina, ia harus mengakui terlebih dahulu bahwa ia telah berzina. Maka ia harus bertaubat kepada Allooh سبحانه وتعالى. Astaghfirullooh wa atuubu ilaih. Langsung hentikan perbuatan zinanya. Jangan lagi berbuat zina. Kalau mereka sudah bertaubat, jangan lalu diumumkan kepada orang lain.
            Kalau sudah terjadi taubat, maka barulah diadakan pernikahan.
            Sekian bahasan kita, mudah-mudahan ada manfaatnya.
            سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
            والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

            2 komentar:

            1. waalaikumussalam umar hasan sebelum posting lihat dulu arah dan dalil yang membenarkan dan siapa yang mengeluarkan ini aku jawab pake postinganku ya

              Memuliakan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW
              Ketika memasuki bulan Rabiul Awal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, barzanji dan pengajian­pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi SAW menghiasi hari-hari bulan itu.

              "Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara'. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: Menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmnti bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka dta dan kegembiraan atas kelahiran Nnbi Muhammad SAW yang mulia". (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, hal 251-252)

              Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT :

              قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوا

              Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian. (QS Yunus, 58)

              Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang tiadataranya. Sebagaimana firman Allah SWT:

              وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

              Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya',107)

              Sesunggunya, perayaan maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

              عَنْ أبِي قَتَادَةَ الأنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلإثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ – صحيح مسلم

              Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, "Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR Muslim)

              Betapa Rasulullah SAW begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.

              Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik Barzanji atau Diba', sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syari' at Islam. Sayyid Muhammad' Alawi al-Maliki mengatakan:

              "Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara' secara parsial (bagian­bagiannya)”

              KH Muhyiddin Abdusshomad
              Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Rais Syuriyah PCNU Jember

              jadi lihat sisi baik dari kebiasaan itu jangan mennganggap semua kebaikan itu jahat wassalam

              BalasHapus
            2. bukan berarti tidak dirayakan maulid Nabi Saw pada masa lalu (salaf) itu menunjukan kebid'ahannya, dan bukan berarti merayakan maulid adalah perkara yang diperintahkan oleh syara', tapi merupakan hal-hal yang diperbolehkan, dengan syarat tidak ada keyakinan akan kesunnahannya, dan tidak keluar dari tuntunan Nabi Saw seperti yang dilakukan kebanyakan orang pada saat perayaan, dan perayaan maulid merupakan pengenangan kembali akan sirah nabi Saw.
              Faishal Maulawi (wakil kepala majlis Eropa untuk fatwa dan research)
              Itu perkara yang dibolehkan oleh syara' walaupun tidak ada hukum dasarnya, artinya para sahabat dan tabiin dan pengikut tabiin tidak merayakan maulid sedangkan mereka adalah para ahlii fiqh dan mereka hidup pada sebaik-baiknya masa. Tetapi ketika kebanyakan kaum muslim mulai tidak tahu akan sifat-sifat Rasul dan kehidupannya, bagaimana Dia (Rasulullah) hidup dengan sederhana, rendah diri, penuh kasih sayang, dan cinta pada Rasulullah Saw dihati kebanyakan orang saat itu hanyalah cinta luaran saja, maka salah seorang sultan muslim mengumpulkan para ulama dan meminta mereka untuk menulis buku yang membahas kehidupan Rasulullah dari kelahirannya hingga wafatnya, yang terdapat didalamnya akhlaknya yang baik, dan pada saat itu diadakan perayaan hingga perayaan maulid dianjurkan oleh para ulama hingga saat ini.
              Hanya saja perlu dicatat : bahwa perayaan ini tidak termasuk dalam golongan ibadah yang disyariatkan Allah, tapi merupakan kebiasaan yang diciptakan manusia, kemudian syariat memperbolehkannya bila tidak terdapat keharaman didalamnya, atau syariat mengharamkannya bila didalamnya terkandung hal-hal yang diharamkan. Karena pada maulid Nabi Saw pada dasarnya terdapat peringatan kembali dengan sirah Rasulullah Saw dan akhlaknya maka itu menjadi mubah dan semoga berpahala insya Allah.
              Yusuf Qordhawi berpendapat :
              Ada corak perayaan yang dapat kita tetapkan dan dapat mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin, dan kita tahu bahwa sahabat tidak merayakan maulid Rasul Saw, juga tidak dengan hijrah nabi dan perang Badr, kenapa ?
              Karena hal-hal tersebut mereka alami dilapangan, dan mereka hidup berdampingan dengan Rasulullah Saw, Rasulullah Saw adalah cinta yang mengalir pada perasaan mereka, tidak pernah sirna, Saad bin Abi Waqqash berkata : kita mengisahkan peperangan Rasulullah Saw pada anak-anak kita sebagaimana kita menghapalkan pada mereka sebuah surah dalam Quran, mereka menceritakan kejadian pada perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq, perang Khubair, dan mereka menceritakan kehidupan Nabi Saw pada anak-anak mereka, maka tidak perlu untuk mengingatkan dengan hal-hal tersebut.
              Kemudian datanglah masa manusia mulai lupa akan kejadian-kejadian bersejarah tersebut, maka mereka memerlukan penyegaran, memang ada sebagian bid'ah pada beberapa hal, tapi menurut saya kita merayakan maulid ini bertujuan untuk mengingatkan manusia akan sirah Nabi dan hakekat risalah Muhammad, ketika saya merayakan maulid Rasul, maka saya merayakan kelahiran risalah itu, maka saya mengingatkan manusia akan risalah Rasul dan sirah Rasul
              Kita sangat membutuhkan pelajaran-pelajaran ini, maka perayaan semacam ini merupakan peringatan akan arti itu, saya yakin bahwa dibalik itu ada hasil positif yaitu : mengembalikan kembali kaum muslimin pada islam, dan mengembalikan kembali pada sirah Nabi agar mereka dapat mengambil suri tauladan, adapun hal-hal yang keluar dari ini maka ini tidak termasuk arti perayaan itu, dan tidak seorangpun yang menetapkannya.
              dikutip dari :http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?pagename=IslamOnline-Arabic-Ask_Scholar/FatwaA/FatwaA&cid=1122528617338

              BalasHapus